ARAHANNEWS - Amerika Serikat (AS) dan China terlibat dalam persaingan untuk menguasai teknologi kecerdasan buatan (AI). Kedua negara terus berusaha memblokir teknologi untuk menghalangi kemajuan AI pihak lawan.
Dalam beberapa tahun terakhir, sejak pemerintahan Joe Biden berganti dengan Donald Trump, AS telah berulang kali memberlakukan pembatasan ekspor chip buatan AS ke China. Sebagai balasan, China memblokir ekspor mineral penting seperti galium dan germanium ke AS, yang sangat dibutuhkan untuk pengembangan semikonduktor dalam chip berkecepatan tinggi.
Chip sangat penting dalam pengembangan AI, karena mampu menganalisa data besar dan melatih AI untuk menjalankan perintah dengan akurat dan cepat. Tindakan AS memblokir chip ke China dianggap efektif untuk menghambat perkembangan AI di China, karena AS khawatir China akan menggunakan AI untuk meningkatkan kekuatan militernya.
Namun, China tidak tinggal diam. Presiden Xi Jinping telah menyerukan kemandirian dan mengurangi ketergantungan pada AS. Pemerintah China meluncurkan program pendanaan bernama 'Big Fund' untuk memajukan industri semikonduktor, dengan fase pendanaan terakhir mencapai US$47,5 miliar yang diluncurkan pada Juli 2024.
Ketegangan antara AS dan China memiliki sejarah panjang sejak Perang Dingin, dan saat ini muncul dalam konteks persaingan AI. AI diperkirakan bisa mencapai potensi ekonomi global sebesar US$19,9 triliun pada 2030, menurut firma riset IDC. Goldman Sachs memprediksi PDB global akan meningkat sebesar US$7 triliun dalam satu dekade ke depan.
Negara yang mampu menguasai teknologi AI dipandang sebagai penguasa global di masa depan. Pada akhir 2024, US-China Economic and Security Review Commission (USCC) merekomendasikan dana untuk pengembangan kecerdasan buatan yang setara atau melebihi manusia, dikenal sebagai Artificial General Intelligence (AGI). USCC adalah badan legislatif AS yang memantau hubungan ekonomi dengan China.
Pendanaan yang diajukan oleh USCC mirip dengan 'Proyek Manhattan' dari era Perang Dunia II, di mana pemerintah dan sektor swasta bekerja sama mendanai penelitian bom atom. Jacob Helberg dari USCC menegaskan bahwa negara yang cepat mengadopsi teknologi baru akan memperoleh kekuatan global.
Dokumen rekomendasi USCC menekankan perlunya keterlibatan pemerintah AS dalam pendanaan AGI dan menjadikannya prioritas nasional, di bawah arahan Kementerian Pertahanan. DX Rating, yang menjadi prioritas tertinggi nasional, akan memastikan proyek ini menjadi fokus utama.
USCC menyatakan bahwa AGI memiliki peran penting dalam pertahanan dan keamanan AS melawan China, menjadikannya 'bom atom' baru dalam era kecerdasan buatan. Rekomendasi ini disambut baik oleh Trump, yang setelah dilantik mengumumkan investasi sebesar US$500 miliar untuk infrastruktur AI guna melawan China, didukung oleh perusahaan seperti OpenAI, SoftBank, dan Oracle yang membentuk patungan bernama Stargate untuk membangun pusat data.
Proyek Stargate, yang dimulai di Texas, bercita-cita menciptakan lebih dari 100. 000 lapangan kerja dan mengucurkan modal US$100 miliar dalam waktu dekat. CEO SoftBank dan OpenAI hadir dalam pengumuman investasi tersebut. Proyek ini memberi sinyal dukungan pemerintah terhadap inisiatif swasta untuk mendominasi pengembangan AGI.
Setelah rekomendasi tersebut, China meluncurkan model AI R1 DeepSeek pada Januari 2025, yang diklaim sebagai sistem AI pertama China mampu bersaing dengan AI AS dengan biaya lebih rendah. Pengembangan DeepSeek hanya memerlukan dana US$5,5 juta, jauh lebih efisien dibandingkan dengan raksasa AS yang mengeluarkan miliaran dolar untuk AI.
Peluncuran DeepSeek membuat Silicon Valley terguncang, dengan investor mempertanyakan pengeluaran besar AS ketika startup China mampu meluncurkan AI canggih dengan biaya rendah. Bursa saham AS langsung merosot, kehilangan ratusan miliar dolar. DeepSeek bahkan berhasil mengalahkan ChatGPT dalam aplikasi gratis terbaik di App Store Apple AS, menunjukkan kekuatan China di tengah upaya pembatasan yang dilakukan AS.
Bumerang Blokir Chip AS ke China
Kemunculan DeepSeek membuat AS semakin marah. Pemerintah Trump menuduh China berhasil menyelundupkan chip Nvidia yang dilarang untuk mengembangkan DeepSeek. Penyelidikan mengenai penyelundupan chip Nvidia ke China masih berlanjut, sementara Trump terus memblokir chip ke China, termasuk pemblokiran terbaru chip H20 Nvidia yang khusus dirancang untuk China agar tidak melanggar aturan.
Pemblokiran ini bisa menjadi bumerang bagi AS. Nvidia sudah mengingatkan bahwa pemblokiran total akses chip ke China hanya akan merugikan AS dan mendongkrak kemandirian China. China dulu merupakan pasar utama bagi Nvidia, menyumbang 22% pendapatannya sebelum kebijakan kontrol ekspor diterapkan Biden pada 2022, tetapi kontribusinya berkurang menjadi 13%. CEO Nvidia menyatakan pasar AI China dapat bernilai US$50 miliar dalam 2-3 tahun. Jika perusahaan AS tidak memanfaatkan peluang ini, kerugiannya bisa besar.
Di sisi lain, Huawei tengah mempersiapkan chip AI baru, Ascend 910D, untuk menggantikan Nvidia. Mereka sedang menguji chip tersebut dengan beberapa perusahaan teknologi di China.
Di tengah ketegangan antara AS dan China, negara lain juga aktif dalam pengembangan AI, seperti UEA, Inggris, Jerman, Jepang, Korea Selatan, dan Indonesia. Mereka berinvestasi dalam infrastruktur dan riset AI. Data center juga sangat penting untuk mendukung chip AI.
Asia Tenggara menjadi lokasi menarik untuk data center karena kebutuhan lahan dan pasokan listrik yang besar. Dalam tiga tahun terakhir, Johor di Malaysia berhasil menarik banyak proyek data center. Malaysia lebih menarik bagi investasi data center karena kemudahan regulasi, sedangkan Singapura sudah lebih dulu menjadi pilihan. Thailand, Vietnam, dan Indonesia juga mulai menarik perhatian untuk membangun data center.
Pengembangan pesat AI membawa banyak peluang baru, dan setiap negara perlu membuat regulasi untuk menangani risiko negatif dari AI, seperti dari segi etika dan keamanan, serta ancaman kehilangan pekerjaan.
Narasumber https://arahannews.blogspot.com/
www.slot-500.org
www.slot1000k.com
www.bet-888.org