ARAHANNEWS - Perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan negara-negara lain, terutama China, masih berlanjut. Kedua negara saling menerapkan tarif tinggi, lebih dari 100%. Pada April, Presiden China Xi Jinping memutuskan untuk mengecualikan 8 kategori chip buatan AS dari tarif 125%, setelah adanya lobi dari produsen mobil China. Namun, China masih menargetkan untuk memproduksi 15% chip kendaraan secara lokal pada akhir 2025, meskipun sumber menyebutkan target ini sulit dicapai.
Beberapa perusahaan China berusaha berbicara dengan produsen chip AS untuk meningkatkan produksi chip lokal. Kementerian Perindustrian dan Teknologi Informasi China tidak memberikan komentar mengenai hal ini. Di sisi lain, pemerintah AS mengumumkan bahwa tarif 145% untuk barang dari China tidak berlaku untuk barang elektronik seperti iPhone, tetapi akan ada skema tarif baru yang diumumkan dalam beberapa pekan ke depan.
Kebijakan tarif Presiden Trump berdampak besar pada industri otomotif di AS, dengan klaim dari produsen mobil bahwa dampak tarif bisa mencapai US$ 12. 000 per mobil. Kendaraan rakitan AS mengalami dampak tarif yang berbeda-beda, dan banyak kendaraan impor juga terpengaruh dengan tarif yang lebih besar. Trump memberikan dua tahun kepada produsen mobil untuk meningkatkan komponen dalam negeri agar bisa mengimbangi tarif impor.
Elon Musk disebut tidak terlihat lagi di Gedung Putih. Meskipun ia tidak resmi keluar dari jabatannya, ia lebih memilih untuk tidak hadir secara fisik dan ingin fokus pada Tesla. Musim depan, Musk akan memberikan saran secara informal dan tidak lagi terlibat aktif di dalam pemerintahan.
Trump juga mengancam negara-negara yang membeli minyak dari Iran dengan sanksi. Ia mengklaim bahwa Iran mendanai kelompok militan di Timur Tengah dan ingin menghentikan ekspor minyak Iran sepenuhnya. Setelah pernyataan ini, harga minyak mentah AS dan Brent mengalami kenaikan. Meski begitu, Trump juga mulai bernegosiasi dengan Iran mengenai program nuklirnya, menunjukkan keinginannya untuk mencapai kesepakatan.
Laporan keuangan yang dirilis pada Jumat menunjukkan bahwa laba yang dapat diatribusikan kepada pemegang saham turun menjadi US$4,8 miliar dari US$7,4 miliar pada periode yang sama tahun lalu. Penurunan ini terjadi seiring dengan berkurangnya pendapatan total perusahaan sebesar 6%, dari US$74,7 miliar menjadi US$70,2 miliar. Shell dan sejumlah perusahaan minyak besar lainnya saat ini terdampak oleh kejatuhan harga minyak mentah, yang dipicu oleh kekhawatiran pasar atas dampak kebijakan tarif Presiden AS Donald Trump terhadap perlambatan ekonomi global.
"Para pelaku pasar khawatir bahwa tarif baru yang dikenakan oleh pemerintahan Trump akan menekan permintaan global dan memperlambat pertumbuhan ekonomi, yang pada akhirnya memukul harga komoditas seperti minyak," demikian penjelasan dalam laporan Shell, dikutip dari Reuters. Meski demikian, hasil kuartal pertama ini masih mampu melampaui ekspektasi analis. Shell mengumumkan program pembelian kembali saham (buyback) sebesar US$3,5 miliar selama 3 bulan ke depan.
Kinerja yang tertekan ini menjadi kelanjutan dari tren yang telah terlihat sepanjang 2024, di mana laba bersih tahunan Shell turun 17%. Untuk menjaga profitabilitas, Shell bersama pesaing utamanya seperti BP, telah mulai menarik diri dari sejumlah komitmen iklim dan berfokus kembali pada sektor minyak dan gas. Tahun lalu, Shell mengumumkan bahwa mereka tidak lagi akan memimpin pengembangan proyek-proyek angin lepas pantai baru. Di sisi lain, BP juga melaporkan hasil yang tidak menggembirakan, mencatatkan penurunan laba bersih hingga 70% pada kuartal pertama.
Raksasa energi Shell melaporkan penurunan laba bersih sebesar 35% pada kuartal pertama 2025, di tengah pelemahan harga minyak global, yang juga dipengaruhi oleh kebijakan Trump.
Narasumber https://arahannews.blogspot.com/